Catatan Pinggir Dunia Pendidikan Indonesia

10/01/10



Orang miskin dilarang sekolah bersama orang kaya. Kementerian Pendidikan Nasional (Diknas) seolah tanggap atas kritik Eko Prasetyo dalam bukunya “Orang Miskin Dilarang Sekolah”. Eko Prasetyo membuka bukunya dengan menceritakan sulitnya mendapatkan sekolah murah bagi buah hatinya. Masih di dalam bab yang sama Eko ternyata juga menyebutkan adanya sekolah murah untuk anak tukang pasir tetangganya. Permasalahannya, apakah warga kelas menengah yang diwakili Eko mau menempatkan anaknya di sekolah beriuran tujuh ribu lima ratus rupiah sebulan.
Sekolah memang telah terkotak-kotak berdasarkan kemampuan ekonomi dari orang tua. Kurang bijak bila menjawab permasalahan ketersediaan bangku sekolah untuk seluruh lapisan masyarakat dengan pengkastaan sekolah. Seharusnya peningkatan kualitas pendidikan di sekolah milik pemerintah dan penyediaan akses pembiayaannya bagi seluruh lapisan masyarakat diutamakan. Sehingga Gendhuk atau Butet bisa menuntut ilmu hingga ke negeri Cina bila mereka memiliki potensi meski orang tua mereka tidak mampu.
Manusia sudah lahir berbeda. Paska kejatuhan Soeharto, bangsa ini banyak didera permasalahan prasangka etnis. Kamanto Sunarto dari Universitas Indonesia menyatakan bahwa pendidikan multikultural kurang disukai oleh penguasa karena dianggap sebagai ancaman bagi kestabilan politik, ekonomi dan negara. Keputusan pemerintah untuk memisahkan si kaya dan si miskin di sekolahan merupakan kebijakan kontra produktif dengan Bhineka Tunggal Ika. Ahmad Bukhori Muslim, penerima beasiswa Fulbright di Boston University, mengungkapkan pentingnya mengajarkan perbedaan kepada anak-anak. Pendidikan ini, Bukhori menekankan, sebaiknya dimulai dari rumah. Upaya ini perlu didukung dengan adanya kurikulum yang bermuatan multikultural di sekolah untuk memperkuat dampaknya. Tujuan pendidikan multikultural, menurut Kamanto, diantaranya bertujuan agar siswa mampu berfungsi dalam berbagai latar belakang budaya. Kamanto juga menyatakan bahwa menerapkan pendidikan multikultural di sekolah membutuhkan perombakan total sistem pendidikan. Hal ini merupakan salah satu catatan permasalahan pendidikan di Indonesia.
Catatan lain adalah upaya pemerintah untuk mengurangi beban orang tua dalam urusan membeli buku pelajaran dengan kebijakan Buku Lima Tahun. Kebijakan ini perlu ditambal karena kebijakan ini, di samping membatasi sumber pengetahuan bagi murid, menyisakan ruang buat kolusi yang lebih permanen selama lima tahun. Membuat buku menjadi opensource akan mampu menambal kebolongannya. Pemerintah perlu memulai format awal buku opensource yang dibangun oleh para relawan pendidikan. Buku ini dapat dimodifikasi oleh guru sekolah dan atau relawan lokal agar isinya tetap dinamis mengikuti perkembangan jaman. Buku opensource akan lebih murah bagi orang tua murid karena biaya foto kopi lebih rendah dari membeli buku.
Hasil awal dan pengembangan Buku opensource dapat disimpan di situs Diknas untuk diakses masyarakat pendidikan. Dengan demikian kebijakan Buku Lima Tahun yang didukung Buku Opensource akan memiliki nuansa teknologi pendidikan yang kurang diperhatikan di Indonesia. Upaya menerapkan teknologi di dunia pendidikan di Indonesia pun baru pada pemahaman sempit membawa perangkat keras dan koneksi internet ke sekolahan. Belum ada upaya untuk melatih sekolah mendisain kegiatan yang mengintegrasikan teknologi tersebut kedalam kegiatan belajar mengajar. Memahami bagaimana media dan teknologi berproduksi dikaitkan dengan kurikulum berbasis kompentesi adalah salah satu contoh pengintegrasianya. Akibatnya sekolah merasakan adanya laboratorium internet sebagai sumber pembiayaan dengan tingkat pengembalian investasi,berupa output pendidikan bukan finansial, yang rendah.
Penerapan teknologi informasi di sekolah mengulangi sejarah Televisi Pendidikan Indonesia yang gagal membawa teknologi televisi pendidikan ke ruang kelas. Kesalahan keduanya terletak pada, dan ini menjadi catatan berikutnya, kurangnya melibatkan guru pada perencanaan pemanfaatan teknologi ini di kelas. Akibatnya, seperti yang diungkapkan Larry Cuban dari Stanford University, adalah cercaan terhadap guru yang gagal memanfaatkan teknologi. Nasib guru-guru yang berdedikasi ini sangat malang karena tidak dilibatkan dalam perencanaan dan masih dicaci pula.
Saat Kamanto berbicara mengenai perombakan total, mungkin adanya bencana secara berturut-turut menandakan perlunya kita merombak total banyak hal dalam keseharian kita, dalam hal ini masalah pendidikan. Salah satunya adalah ukuran pencapaian sekolah. SDN Johar 16 Petang di Jakarta Pusat yang seratus persen diisi oleh para pengamen dan pedagang asongan cilik, tentunya tidak akan pernah berhasil apabila diukur dengan jumlah siswa yang diterima di SMP Negeri. “... membangkitkan motivasi untuk selalu datang ke sekolah saja susah,...” demikian ungkap kepala sekolahnya. Sekolah seperti SDN Johar 16 Petang akan menjadi bintang bila ukurannya adalah turunnya jumlah murid yang terlibat kriminal. Sebagai catatan, tentunya banyak sekolah dengan permasalahan yang berbeda-beda yang tidak dapat diukur dengan standar yang sama.
Seyogyanya, upaya perombakan total diwarnai dengan semangat memberdayakan sekolah dan bersifat evolusi daripada revolusi. Lain halnya pada daerah bencana yang memungkinkan perombakan total. Pada dasarnya daerah bencana memiliki kebutuhan pendidikan yang berbeda, kurikulum yang adaptif adalah salah satunya. Kurikulum yang adaptif setidaknya dibagi dalam tiga tahapan. Tahap pertama adalah kurikulum yang membantu mengatasi trauma. Tahap kedua, kurikulum perlu diadaptasi agar siswa mampu membantu lingkungan mengatasi trauma. Tahap ketiga adalah kurikulum baru yang berfungsi penuh seperti kondisi normal.
Daerah bencana juga membutuhkan pembangunan pranata sekolah yang hancur. Dalam membangun kembali fasilitas sekolah, perlu diperhatikan isu-isu baru yang berkembang di dunia seperti isu mengenai “Rute Aman ke Sekolah” yang dicanangkan WHO pada April 2004 serta akses yang sama bagi murid cacat fisik dan perempuan.
Catatan terakhir, meski bukan akhir dari daftar panjang permasalahan pendidikan, adalah mengenai kesiapan sekolah menghadapi bencana. Sebagai perbandingan, dunia bisnis siap dengan prosedur Perencanaan Pemulihan Paska Bencana (P3B) agar aktifitasnya tak terputus. Diknas, dalam hal ini nampak tidak memiliki perencanaan penanganan pemulihan sekolah paska bencana. Memang kedatangan bencana tidak dapat diramalkan, tetapi dampaknya dapat diukur dan diramalkan, sehingga P3B dapat dibuat dan akan mempermudah pemulihan pendidikan di daerah bencana. P3B ini seyogya memasukkan aspek-aspek yang diuraikan di atas. Semoga tulisan ini menjadi pemicu langkah-langkah kita berikutnya.

0 komentar:

Posting Komentar

  © Blogger template The Beach by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP