Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pendidikan

10/04/10

Perkembangan teknologi informasi (TI) yang pesat saat ini telah menimbulkan paradigma-paradigma baru dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk di dalamnya bidang pendidikan. Paradigma baru dalam pendidikan itu diantaranya adalah: (i) penggunaan multimedia interaktif dalam pembelajaran, dan (ii) penyelenggaraan pendidikan secara maya (cyber classrom), dimana keduanya tercakup dalam suatu sistem yang disebut E-learning.
Peran teknologi di bidang non-pendidikan yang terbukti mampu meningkatkan efisiensi dan mutu pelayanan, seyogyanya juga demikian halnya ketika teknologi diterapkan di bidang pendidikan. Dengan landasan pemikiran demikian, maka penerapan teknologi informasi di bidang pendidikan seyogyanya akan mampu memberikan kontribusi positif, seperti meningkatkan efisiensi penyelenggaraan pendidikan, memberi kesempatan belajar yang lebih luas dan meningkatkan hasil pendidikan yang lebih baik.
Paradigma pertama telah membawa perubahan besar dalam pengembangan metode-metode pembelajaran modern saat ini. Metode-metode tersebut tentu sangat membantu para pengajar yang mengalami kesulitan dalam menyampaikan materi pelajaran yang kompleks sebagaimana yang sering dialami pada pengajaran bidang fisika. Hal ini terjadi tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Kesulitan ini tidak terlepas dari perangkat bantu yang tepat. Pengajaran fenomena fisika yang kompleks, seperti konsep medan listrik dan hukum Faraday dalam kajian elektromagnetik, memang sangat membutuhkan visualisasi tinggi. Bantuan berupa gambar yang biasanya disajikan di papan tulis jelas tidak mampu memvisualkan interaksi medan-medan yang ditinjau. Demikian juga dengan cara demonstrasi menggunakan alat-alat peraga, perubahan medan atau pembentukan gelombang elektromagnetik tetap tidak bisa diamati secara kasat mata.
Berkenaan dengan persoalan di atas, beberapa universitas telah mencoba mengembangkan format-format baru pembelajaran, salah satunya adalah pendekatan yang dikembangkan oleh The Technology Enabled Active Learning Project di MIT (Belcher, 2005). Metode ini merupakan penggabungan secara interaktif antara pendekatan ceramah, resitasi dan pengalaman laboratorium langsung dengan tambahan software interaktif yang kaya media visualisasi. Pada materi pelajaran elektromagnetik metode ini dilaporkan berhasil meningkatkan hasil belajar mahasiswa hingga dua kali lipat dibandingkan dengan metode pembelajaran konvensional sekalipun oleh pengajar yang sangat profesional.
Paradigma kedua di bidang pendidikan lebih dekat dengan konteks E-learning yang lebih menitikberatkan pada online-learning. Dengan teknologi internet saat ini para siswa bisa mengikuti secara online suatu materi pelajaran. Dengan penyajian yang interaktif para siswa bisa belajar mandiri dalam arti yang sebenarnya. Kegiatan belajar tidak lagi dibatasi oleh jarak, keterbatasan ruang dan keberadaan guru. Para siswa juga bisa mengevaluasi kemampuan diri terhadap penguasaan materi secara online, sehingga kesalahan terhadap penguasaan suatu konsep akan lebih cepat bisa dievaluasi.
Bagi para guru, sistem ini juga sangat membantu dalam hal teknis yang sebelumnya tidaklah mungkin bisa dilakukan. Seorang guru bisa merencanakan dan mempersiapkan penyajian materi melalui suatu sistem yang terintegrasi antara streaming video dan slide materi, sehingga kehadirannya bisa tergantikan. Dengan demikian para siswa bisa mengatur sesuka hati penyajian materi gurunya, apakah ingin diulang atau dimajukan. Sesuatu yang sebelumnya tidak mungkin terjadi. Sistem pendidikan ini telah sukses diterapkan di berbagai pusat pelatihan dengan sejumlah keunggulan dibandingkan dengan sistem pendidikan konvensional yang berbasis kelas (Kruse, 2004).
Menyadari pentingnya sektor pendidikan di masa depan, kini pengembangan teknologi informasi untuk pendidikan telah menjadi prioritas utama di berbagai lembaga dan industri. Perusahaan perangkat lunak raksasa Microsoft bahkan menjadikan bidang pendidikan sebagai prioritas utama dalam pengembangan produk mereka. Prospek yang besar di bidang ini juga terungkap dari komentar John Chambers, CEO Cisco, bahwa E-learning adalah “the next killer app” atau aplikasi besar berikutnya (Flood, 2003). Beberapa software untuk pendidikan juga telah banyak ditawarkan, baik yang komersial maupun yang Open Source (Wiryana, 2005). Di lembaga pendidikan, teknologi informasi telah masuk dalam kurikulum sekolah. Bahkan India telah sejak lama mempunyai format sendiri dalam pemanfaatan TI untuk pendidikan (Microsoft, 2005).
Dari uraian di atas jelaslah bahwa bidang pendidikan di masa depan tidak bisa lepas dari perkembangan teknologi informasi. Dalam tulisan ini selanjutnya akan didiskusikan bagaimana mengantisipasi perkembangan baru di bidang pendidikan modern ini sehingga teknologi informasi tidak menjadi penyebab semakin jauhnya gap ketertinggalan kita di bidang pendidikan dan semakin kuatnya kebergantungan pada negara lain.

E-Learning dan Kesiapan SDM

Pada bagian ini kita akan meninjau kesuksesan dan kegagalan penerapan teknologi informasi yang paling luas di bidang pendidikan, yaitu E-learning. Dari uraian ini kemudian kita diskusikan bagaimana hal itu terjadi, sehingga akan memberikan pondasi pemikiran terhadap penerapan teknologi ini.
Untuk keseragaman, pengertian E-learning dalam makalah ini mengacu pada (Woodill, 2005), yakni segala aktivitas pembelajaran yang secara aktif diberikan melalui media elektronik interaktif. Media ini bisa berupa CD-ROM, DVD, dan internet. Istilah E-learning juga sering dikaitkan dengan terminologi lain yang mempunyai arti hampir sama seperti web-based learning, online-learning, computer-aided instruction, distance learning, dan computer-based learning.
Kesuksesan penerapan teknologi informasi untuk pendidikan telah banyak dilaporkan. Kesuksesan itu mencakup beberapa hal, diantaranya adalah efisiensi biaya, pereduksian waktu (Hall, 1997), hasil belajar yang lebih konsisten dibandingkan dengan kelas konvensional (Adam, 1992), dan peningkatan tingkat retensi peserta hingga 25% dibandingkan dengan pengajaran konvensional (Fletcher, 1990).
Selain kesuksesan, ternyata kini banyak terjadi kegagalan dalam penerapan E-learning sebagaimana ditemukan dalam banyak hasil penelitian. Kegagalan ini terlihat misalnya dari hasil penelitian terhadap sekitar 40 perusahaan yang dilakukan Forrester Group bahwa mayoritas karyawan tidak bersedia mengikuti kursus online (Woodill, 2004) . Penelitian lain melaporkan bahwa terdapat antara 50% hingga 80% peserta didik tidak menyelesaikan kursus sampai selesai (Delio, 2000). Peneliti lainnya menunjukkan lebih dari 30% peserta membatalkan kursus (Dublin & Cross, 2003).
Suatu analisis kritis terhadap masalah ini bisa ditemukan dalam paper (Woodill, 2004; Rominzowski, 2004). Mereka mensinyalir bahwa kegagalan itu disebabkan oleh persoalan yang berbeda pada saat langkah-langkah implementasi, meliputi masalah desain awal (initial design inssues) dan efektivitas disain instruksional dan pengembangannya (instructional design and development).
Suatu hal yang menarik dari hasil penelitian di atas bahwa bukan persoalan teknologi yang dominan terhadap kegagalan tersebut, melainkan faktor non-teknis. Penerapan E-learning memang memerlukan kesiapan budaya belajar tidak hanya pengelola sistemnya tetapi juga mereka yang akan menggunakannya. Pengelola dituntut untuk terus belajar bagaimana membuat instruksional online yang efektif. Sementara peserta didik dituntut budaya belajar secara mandiri (self learning), karena dalam E-learning semua materi pelajaran harus diorganisir sendiri sepenuhnya. Karena itu implementasi E-learning membutuhkan persiapan yang matang dan strategi yang tepat sehingga investasi yang dikeluarkan tidak sia-sia.

Pemilihan Teknologi dan Kemandirian

a. Pemilihan Teknologi
Penerapan teknologi informasi dalam berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan, memerlukan infrastruktur, baik teknis maupun non-teknis (misalnya SDM). Dalam kaitannya dengan E-learning, infrastruktur teknis berupa jaringan komunikasi, perangkat keras seperti server dan perangkat komputer penunjang (untuk yang belum tersedia), dan perangkat lunak pendukung seperti program learning management system (LMS) dan authoring tools.
Sedangkan untuk pengembangan media pembelajaran, bentuk investasi adalah komputer yang mendukung multimedia, software multimedia authoring, audio/video editing, dan software untuk visualisasi. Selain itu implementasi media ini juga membutuhkan seperangkat komputer yang akan digunakan dalam pembelajaran.
Dengan melihat kebutuhan akan investasi yang demikian besar maka perlu dipertimbangkan secara matang biaya perangkat keras dan perangkat lunak. Oleh karena itu penggunaan teknologi ini dalam pendidikan seyogyanya disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi lingkungan setempat. Penerapan teknologi yang tidak diimbangi dengan kesiapan penggunanya akan menyebabkan kemubaziran, sehingga investasi yang dikeluarkan menjadi tidak berguna.
Selain itu juga diperlukan kebijakan dalam pemilihan teknologi. Seringkali para pengajar secara sadar atau tidak mempersempit wawasan peserta didik tentang perangkat lunak yang digunakan sebagai alat bantu pengajaran. Dalam pengajaran komputasi misalnya sering kita gunakan alat bantu seperti Matlab atau Mapple. Padahal mungkin pelajaran yang kita berikan belum membutuhkan perangkat seperti itu. Demikian juga halnya dengan pembuatan visualisasi fisika yang sering terpaku pada perangkat lunak profesional yang mahal, seperti produk Macromedia. Padahal terdapat sejumlah alternatif software yang relatif lebih murah.
Kebijakan pemilihan teknologi ini hendaknya mengarah pada pengurangan ketergantungan terhadap suatu produk tertentu. Selain itu patut dipertimbangkan pula masalah biaya lisensi bagi perangkat lunak yang harus digunakan, karena sistem lisensi akan membebani biaya dalam jangka panjang.

b. Menuju Kemandirian
Ditinjau dari keterbukaan kodenya, kita mengenal ada dua jenis perangkat lunak, yaitu closed-source dan Open Source. Aplikasi closed-source tidak menyertakan source program pada produk yang mereka rilis. Menggunakan aplikasi closed-source dari luar negeri, baik dengan cara membeli langsung, lisensi, atau pun hanya menggunakannya secara free akan berdampak pada kebergantungan kita pada negara luar yang pada akhirnya harus dibayar dalam jangka panjang. Karena itu budaya “konsumtif” sudah seharusnya berganti menjadi budaya “produktif” untuk sampai pada kemandirian.
Berbeda dengan closed-source, Open Source memberikan source code pada aplikasi yang dirilisnya dibawah lisensi GNU. Dengan lisensi ini maka kita bisa lebih leluasa memanfaatkannya, apakah hanya menggunakan saja atau ingin mengembangkannya untuk kebutuhan sendiri tanpa dibatasi hal-hal lain, seperti masalah politis dan ekonomi. Dengan keterbukaan ini Open Source membantu para developer belajar dengan cepat dan membuat produksi lebih murah. Oleh karenanya negara-negara yang cukup maju di bidang TI seperti India, China, Korea dan Taiwan telah memilih Open Source untuk mendorong industri TI lokal mereka tanpa harus terikat dengan perusahaan asing (Wiryana, 2005).
Dalam kaitannya dengan E-learning, kita bisa memangkas biaya dengan memanfaatkan perangkat lunak Open Source yang sudah terkenal handal, seperti Linux, Apache dan MySQL untuk membangun infrastruktur teknologi servernya. Sedangkan di sisi client desktop bisa menggunakan Opera, Firefox atau Konqueror. Sedangkan untuk LMS kita bisa gunakan Moodle. Tentu saja perangkat lunak ini masih “mentah”, dimana tugas kita untuk mengembangkannya sesuai dengan keperluan.
Untuk alat bantu perhitungan numerik telah banyak program Open Source yang bisa digunakan, misalnya Python, Vpython, R-Stat dan Scilab yang bisa digunakan untuk menggantikan Matlab atau Mapple. Sedangkan untuk grafis dan visualisasi bisa kita gunakan Octave, Gnu-Plot, Gimp dan Vpython. Selain itu masih banyak program berbasis Open Source yang lain yang bisa kita gunakan, misalnya untuk tujuan pemrograman seperti GCC, Java, K-Develop, Eclipse, dll.
Dengan dukungan software Open Source yang tersedia dan mendayagunakan perangkat keras yang ada bukanlah tidak mungkin kita membangun sistem media pembelajaran berbaisis TI dan sistem E-learning dengan biaya lebih rendah. Tentu saja itu semua memerlukan kerja keras dan motivasi yang tinggi untuk bisa menerapkan teknologi informasi dalam pendidikan dengan kemandirian.

0 komentar:

Posting Komentar

  © Blogger template The Beach by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP